Jumat, 05 Februari 2010

Kenakan Pajak Tinggi

Posted On 01.35 by Gun Gun Gunawan 0 komentar

Jakarta, Kompas - Daerah penghasil batu bara selama ini justru mendapat pasokan batu bara yang sangat minim, bahkan mendekati nol. Oleh karena itu, para kepala daerah mendesak agar ekspor batu bara dikenai pajak tinggi sehingga pasokan batu bara untuk kebutuhan domestik bisa dioptimalkan.

Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek mencontohkan, sebuah perusahaan tambang di Kaltim menghasilkan 45 juta ton batu bara per tahun, tetapi hanya 5 persen yang dipasok untuk dalam negeri. Sisanya, 95 persen, diekspor.

”Dan, kurang dari 1 persen yang kembali ke daerah kami,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Badan Anggaran DPR di Jakarta, Kamis (4/2).

Tahun 2009 Kaltim menghasilkan 170 juta ton batu bara atau 60 persen dari produksi nasional. Tahun 2008 hanya dihasilkan 120,23 juta ton dan tahun 2007 sebanyak 102,29 juta ton.

”Jika charge (pungutan) atas pajak batu bara tinggi, produsen akan terdorong membangun pembangkit listrik di daerah kami. Terserah Badan Anggaran yang menentukan tarif pajaknya nanti,” kata Awang.

Menanggapi usul tersebut, Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Azis mengatakan, hal itu akan dikaji oleh Badan Anggaran DPR dalam kaitan sebagai bagian dari penambahan sumber penerimaan negara bukan pajak.

Namun, Harry mengakui, di era perdagangan bebas seperti saat ini, pengenaan pajak ekspor bisa menimbulkan resistensi. Oleh karena itu, Badan Anggaran mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan rancangan aturan tentang kewajiban bagi semua produsen batu bara memasok pasar domestik (DMO).

”Perhatian utama daerah adalah amannya pasokan batu bara ke daerah. Oleh karena itu, harus ada DMO. Kami sudah meminta pemerintah mengatur desain DMO ini,” ujarnya.

Terkait dengan pajak ekspor, Harry mengingatkan agar daerah perlu berhati-hati. ”Ini karena kontraktor tambang akan mencari daerah lain yang dianggap lebih murah ongkos produksinya,” lanjutnya.

Minta dikhususkan

Sementara itu, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu meminta ada kebijakan khusus terkait dengan penyediaan energi listrik di Maluku. Hal ini dibutuhkan karena Maluku bukan daerah penghasil batu bara sehingga tidak bisa membangun pembangkit listrik tenaga batu bara. Manfaat pembangunan proyek 10.000 megawatt tidak akan dirasakan oleh Maluku.

”Kami hanya bisa memakai solar untuk pembangkit listrik tenaga diesel. Kalau Pulau Jawa dan Sumatera ingin mengandalkan listrik dari batu bara, silakan saja. Tetapi, kami minta kebijakan khusus,” ujarnya.

Beberapa daerah juga meminta agar pemerintah pusat memasukkan penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan dalam bagian dari bagi hasil ke daerah. Alasannya, area usaha perusahaan itu ada di daerah. (OIN)


Menanti Potensi Tersimpan SBY (Kompas)

Posted On 01.34 by Gun Gun Gunawan 0 komentar

Beberapa hari ini, kita mendengarkan keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang perilaku yang ditampilkan oleh para pengunjuk rasa belakangan ini. Isinya seputar etiket meski kata yang digunakan adalah etis, kata sifat dari etika.

Etiket berurusan dengan so- pan santun, kepantasan menurut norma masyarakat tertentu, dan tata cara bertingkah laku yang dianggap memadai. Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji persoalan baik-buruk. Penekanan keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih pada perilaku demonstran yang berlebihan, tak sejalan dengan budaya, nilai, dan pranata sosial pada etiket.

Mementingkan etiket

Tentu etiket penting, seperti diisyaratkan sastrawan Amerika Mark Twain, ”Etiquette requires us to admire the human race.” Etiket bisa menghindarkan manusia dari pertikaian tak perlu karena menekankan pentingnya menjaga perasaan orang lain.

Namun, etiket bukan monopoli orang baik. Diana LaVey, salah satu pendiri Gereja Setan kelahiran Chicago, pun mementingkan etiket. Katanya, ”The devil is and always has been a gentleman.” Ada pula pendapat yang tidak mementingkan etiket seperti yang diungkapkan Ratu Maria (1734 –1816) dari Portugal, ”Fashion exists for women with no taste, etiquette for people with no breeding.”

SBY tampaknya termasuk yang mementingkan etiket, mementingkan penampilan dan citra diri yang baik. Cukup sering terdengar ia mempersoalkan hal yang terkait penampilan, seperti mengomentari kekotoran WC sebuah SD, menanggapi tumpukan sampah di Bandung, dan kini mengeluhkan perilaku demonstran yang membakar dan menginjak-injak foto serta membawa kerbau yang ditempeli fotonya. Di setiap kesempatan kita saksikan SBY tampil santun dan rapi dengan gerak-gerik teratur dan kata-kata tertata.

Merujuk Alfred Adler (1964), yang ditampilkan SBY ialah satu ciri tipikal anak tunggal: cenderung menjaga perhatian tetap tertuju kepadanya, menghindari konflik yang mungkin membuatnya jadi orang tak disukai. Menampilkan diri sebaik mungkin di depan orang lain adalah cara memperoleh perhatian itu. Jika berhasil, anak tunggal akan tampil sebagai orang memesona dan berprestasi. Kita bisa saksikan: SBY berhasil dalam hal itu. Setidaknya mayoritas orang Indonesia dalam dua pemilu terakhir memilihnya jadi presiden. Ia jadi anak tunggal yang memesona.

Persoalannya, kecenderungan berlebih menjaga penampilan dan citra diri dapat mengarahkan anak tunggal cenderung mengabaikan substansi karena perhatiannya lebih kepada style, gaya yang tampil di permukaan. Dalam sebuah survei yang melibatkan 2.198 responden, kesan itu diperoleh dari SBY (Takwin dkk, 2009).

Ada indikasi: SBY lebih aktif menjaga citra diri. Di sisi lain, ia cenderung tampak pasif menghadapi berbagai pertikaian, membiarkan orang-orang yang bertikai menyelesaikan masalah mereka sendiri, memilih jadi pihak netral, bahkan ketika ia punya wewenang dan kewajiban ikut serta di sana. Ia cenderung pasif menghadapi persoalan genting dan prinsipiil, sementara aktif mengurusi hal-hal permukaan.

Dalam pandangan Carl Gustav Jung (1875-1961), dirinci oleh Carol S Pearson (1991), yang ditampilkan SBY sebagai anak tunggal yang memesona merupakan perpaduan ciri polos (arkhetip innocent) dan yatim piatu (orphan). Orang yang dominan polos selalu berusaha mempertahankan citra diri yang baik, taat norma sosial, menjalankan peran sosial, tak menyakiti orang lain, tak banyak bicara, dan pasif. Setiap orang polos selalu berusaha tampil sesuai dengan masyarakatnya.

Yatim piatu dicirikan oleh pola perilaku menghindari situasi yang menyakiti diri sendiri, menghindari konflik, menjaga agar orang tidak telantar atau jadi korban, menekankan pentingnya prihatin, berhemat, menjaga kebersihan, menahan ambisi pribadi, mengikuti pendapat umum, dan menjaga harga diri.

Tujuan utama orang dengan ciri yatim piatu adalah memperoleh rasa aman, takut dirinya dieksploitasi dan jadi korban, sangat hati-hati menanggapi tugas dan kritik, serta sering merasa disakiti dan diperlakukan buruk oleh pihak lain. Cerita SBY tentang dirinya menjadi target teroris, juga merasa difitnah atau dinilai secara tak proporsional, merupakan indikasi dari pengaruh orang berciri yatim piatu.

Keutamaan orang berciri yatim piatu adalah senang bekerja sama, realistis, dan mampu galang solidaritas. Namun, di saat merasa terdesak atau tertekan, ia memiliki ketergantungan tinggi kepada orang atau kelompok tertentu, cenderung menghindari kelompok lain karena takut dimanfaatkan, dieksploitasi, atau dijadikan korban. Orang yang didominasi ciri yatim piatu tidak mesti yatim piatu dalam kenyataannya: penghayatan sebagai yatim piatu di sini bersifat subyektif.

Harapan kepada SBY

Karakter anak tunggal yang memesona sebenarnya bisa jadi modal untuk melangkah ke tingkatan psikis berikutnya: warrior (pejuang) yang ciri-cirinya kita kenal pada para pahlawan. Banyak pahlawan besar dalam sejarah, juga dalam mitologi Timur dan Barat, berangkat dari kondisi polos dan yatim piatu. Dua ciri itu psikologis dikenali oleh setiap orang dan dinilai positif. Kepolosan dan status yatim piatu menggugah simpati. Bisa jadi terpilihnya SBY sebagai presiden dipengaruhi oleh citranya yang polos dan dianggap korban perlakuan tak adil.

Persoalannya, mampukah SBY memanfaatkan modal psikologisnya itu mengembangkan diri lebih lanjut sebagai presiden?

Kesan saya: belakangan ini alih-alih menggunakan kedua modal itu, ia malah mempertahankan keduanya. Lebih dari lima tahun jadi presiden, usaha mempertahankan kepolosan dan sifat yatim piatu lebih menonjol. SBY hampir tak pernah tampil sebagai pahlawan yang berani secara tegas (tak mesti frontal) menunjukkan diri sebagai orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat.

Popularitas SBY yang turun terus merupakan akibat belum tampilnya keberanian itu. Awalnya, sang anak polos dan tampak lemah sendirian itu menarik sim- pati dan dukungan. Kebaikannya menggugah orang berharap: memilihnya menjadi semacam ”juru selamat” yang bisa memperbaiki keadaan.

Jika kepolosan dan sifat yatim piatu yang terus ditampilkan, orang bisa bosan, bahkan kesal dan marah. Ada rasa sia-sia telah memilihnya, kecewa bahkan frustrasi menumpuk menyaksikannya tak menampilkan perilaku yang diharapkan. Penumpukan frustrasi bisa jadi bahan bakar bagi keinginan mengganti, menurunkannya. Bisa jadi orang merasa bersalah telah memilihnya, merasa bertanggung jawab mencari alternatif: orang baru yang lebih pantas jadi pahlawan. Jika tak ada juga tanda kepahlawanan darinya, kesabaran banyak orang tak dapat dipertahankan. Apalagi bila kebijakan yang diambilnya justru malah memperburuk keadaan.

Masih adakah harapan bagi SBY? Bisakah ia jadi pahlawan yang menampilkan sifat satria, mau berkorban demi kesejahteraan rakyat? SBY punya banyak kesempatan menunjukkan bahwa pilihan rakyat Indonesia tak salah. Saat jadi pahlawan itu masih terbuka untuknya: sekarang. Jadi pahlawan sekarang juga.

Bagus Takwin

Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia


Kamis, 04 Februari 2010

Gempa (Kompas)

Posted On 02.21 by Gun Gun Gunawan 0 komentar

Beijing, Minggu - Belum lekang dari ingatan, setelah dilanda gempa dahsyat pada Mei 2008, Sichuan di barat daya China, Minggu (31/1), kembali diguncang gempa. Meski gempa kali ini hanya berkekuatan sedang, 5,0 skala Richter, dan hanya merenggut nyawa satu orang, gempa ini sudah cukup membuat sejumlah rumah porak poranda.

Lebih dari 100 rumah runtuh akibat gempa dengan titik episentrum di pertengahan antara Chongqing dan Chengdu. Kerusakan terparah terjadi di tiga desa di Moxi, dekat kota Suining di timur Sichuan, menurut Administrasi Gempa Provinsi Sichuan, Minggu.

Di pedesaan Tongnan, tetangga Suining, dilaporkan, sekitar 4.700 rumah rusak. Otoritas Chongqing di provinsi barat China telah menyediakan sekitar 40 tenda untuk para pengungsi.

Wilayah Suining, yang berpenduduk sekitar 3,8 juta, memang rawan gempa dan terekam sudah mengalami tiga kali gempa ringan dalam 20 tahun terakhir.

Memang gempa kali ini tak sedahsyat tahun lalu ketika sekitar 150 km di timur Chengdu, ibu kota Sichuan, dilanda gempa berkekuatan 8,0 skala Richter pada 12 Mei 2008. Tercatat lebih dari 87.000 jiwa dinyatakan tewas atau hilang. Dan, sekurang-kurangnya 5 juta orang lainnya kehilangan tempat tinggal akibat gempa dahsyat tahun lalu itu.

Bahkan, saat ini, Sichuan sebenarnya tengah bebenah, membangun kembali wilayahnya dari keruntuhan akibat gempa dahsyat tahun lalu.

Menurut media China, pekan lalu, otoritas setempat diharapkan menyelesaikan 90 persen upaya rekonstruksi akibat gempa. Dan, toh belum rampung, kini sudah dilanda gempa lagi walau tak sedahsyat tahun lalu.(AP/AFP/Reuters/sha)